Teori Sabar dan Ikhlas. Lagi, saya baru saja menarik pelajaran hidup dari beberapa cerita teman Alice. Tentang sebuah teori yang membuat saya merenung kembali, dan meyakini bahwa apa yang sedang mereka alami, akan/pernah dialami juga oleh semua orang. Setiap manusia yang hidup pasti suatu saat akan terbentur permasalahan, dengan tingkat masalah yang ga akan ada ukuran mentoknya. Setelah melewati soal pertama, kita akan dihadapi soal selanjutnya, dan selanjutnya demikian. Teori yang saya maksud dalam postingan ini adalah sabar dan ikhlas.
Kita semua tau bahwa sebaik-baiknya orang adalah mereka yang menghadapi masalah dengan usaha dan bersabar. Tapi sedikit diantara kita yang cakap mengendalikan kesabaran. "It's easier said than done." Baik saya sendiri pun mungkin akan menjadi orang yang ga sabaran bila saya ga diingatkan oleh orang lain untuk bersabar. Kita sering kali berdalih kalau kesabaran itu ada batasnya, padahal?...
Berikut adalah konsep sabar yang saya anut, bahwa sabar itu adalah mutlak tanpa batas. Hadapi masalah dengan usaha dan sabar. Bila belum bertemu hasil? teruslah bersabar. Dan bila sampai batas waktunya belum juga menemui hasil? pasrah saja. Pasrah adalah keadaan pikiran yang netral, dimana kita sadar bahwa apa yang kita miliki sebelumnya adalah nol. Kita terlahir ga membawa apa-apa ke dunia ini, lalu apa yang mesti kita sesalkan kalaupun kita harus kehilangan sesuatu yang sebelumnya bukan milik kita?
Teori selanjutnya adalah ikhlas. Banyak dari kita yang belum paham betul tentang makna keikhlasan. Apa yang akan saya tulis adalah konsep ikhlas menurut versi saya. Kita pasti pernah mengalami keadaan terburuk dalam hidup, keadaan yang membuat kita 'menjerit' meminta bantuan orang lain. Dan biasanya, kita bisa mengetahui sifat dan karakter asli orang saat dalam keadaan terburuk dan kritis. Apakah dia seorang yang pamrih, seorang egois, atau seorang oportunis.
Mau disangkal atau engga, beberapa dari kita menanam bibit kebaikan dengan harapan suatu hari bibit itu akan menjadi buah kebaikan yang bisa kita petik.
Kondisionalnya, kita akan berbuat baik terhadap seorang lain, dengan harapan, suatu saat bilamana kita meminta bantuan dari orang yang pernah kita tolong sebelumnya, maka orang tersebut akan membantu kita. Padahal, bisa saja kondisi orang tersebut saat itu juga sedang tidak baik, sedang ditimpa kemalangan juga. Lalu kita kecewa dan berucap, "oh jadi begitu ya, waktu lo kesusahan, gue bantu lo, sekarang giliran gue susah, lo ga mau bantu gue." Tragisnya lagi bila kita sedang susah, satu persatu teman yang kita harapkan bisa membantu, pelan-pelan menjauh, seakan ga ingin dipeperi derita kita. Lalu timbul pikiran jelek bahwa teman hanya ada saat kita senang, "lo seneng, gue ikut seneng, lo susah, gue cuma bisa prihatin." Saya rasa pikiran seperti ini kurang baik, dan bisa membuat hati kita semakin gak karuan kalau dibiarkan salah dari awalnya.
Untuk menghindari keadaan hati runyam seperti diatas, maka perlu penataan sejak dini. Yakni pelurusan niat dari awal, bahwa kita menolong semata-mata karena ingin menolong, bukan karena ada hal lain. Hilangkan berbagai harapan buah kebaikan yang akan kita petik, apalagi berharap kebaikan kembali dari orang yang kita tolong. Analogi sederhananya dari ikhlas adalah seperti kita membuang kotoran, lepas dan lupakan. Jangan pernah diingat dan disebut lagi. Lupakan kebaikan yang pernah kita buat, tapi ingatlah kesalahan yang pernah kita buat.
Tulisan "Teori Sabar dan Ikhlas" ini dibuat sebagai pengingat dari apa yang saya pikir, bukan untuk menggurui dan menjustifikasi siapapun.